Minggu, 21 Februari 2016

Suicide (Bunuh Diri)


1.      Pengertian Bunuh Diri
Bunuh diri merupakan tindakan merusak diri sendiri yang berakibat pada kematian. Menurut Clinard (Rahesli Humsona, 2004: 60) menyebutkan, ”generally , suicide refers to the destruction of one’ s self, self killing, or, in a legalistic sense, self murder.” Jadi, bunuh diri merupakan tindakan menghilangkan nyawa oleh diri sendiri. Pendapat Clinard ini menekankan bahwa bunuh diri merupakan cara seseorang untuk menghancurkan diri sendiri. 
Istilah bunuh diri memiliki beberapa pengertian, menurut Darmaningtyas (Rahesli Humsona, 2004: 60-61) meliputi: a. bunuh diri merupakan tindakan merusak diri sendiri dengan menggunakan zat (racun atau obat) yang mengakibatkan kematian (commited suicide) maupun menggunakan zat yang tidak mengakibatkan kematian (attemped suicide), b. tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dengan melakukan percobaan bunuh diri dan bunuh diri, c. pikiran bunuh diri adalah munculnya pikiran untuk melakukan tindakan bunuh diri  hingga melakukan percobaan bunuh diri maupun bunuh diri atau sebatas hanya pada pikiran saja. Pendapat Darmaningtyas ini menekankan bahwa bunuh diri merupakan munculnya niat seseorang untuk merusak diri sendiri dengan menggunakan zat yang mematikan maupun yang tidak mematikan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa bunuh diri merupakan niat dan tindakan secara sadar untuk mengakhiri hidup dengan cara menyakiti diri sendiri dan menghilangkan nyawa karena adanya keputusasaan, ingin lari dari kehidupan nyata, dan banyaknya masalah yang dihadapi.
2.      Tipe-Tipe Bunuh Diri
Shneidman (Riana Purwatmi, 2012: 27-28) mengatakan bahwa bunuh diri dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
a.       Bunuh diri langsung yaitu tindakan yang didasari dan sengaja untuk mengakhiri hidup seperti: pengorbanan diri (membakar diri), menggantung diri, menembak diri sendiri, melompat dari tempat yang tinggi, menenggelamkan diri atau sufokasi.
b.      Bunuh diri tidak langsung yaitu keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati yang ditandai dengan perilaku kronis berisiko seperti penyalahgunaan zat, makan berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program medis, olahraga atau pekerjaan yang membahayakan.
Menurut Durkheim (Alex Sobur, 2011: 352-354) ada tiga tipe bunuh diri yaitu:
a.  Bunuh diri egoistis (egoistic suicide) merupakan sikap seseorang yang hendak berintegrasi dengan kelompoknya, keluarganya, dan sebagainya.
b.      Bunuh diri altrustis (altruistic suicide) merupakan tindakan bunuh diri yang dilakukan karena adanya pengintegrasian seseorang terhadap groupnya atau kelompoknya demi menyelamatkan nyawa kelompoknya.
c.  Bunuh diri anomis (anomic suicide) merupakan keadaan moral, ketika seseorang kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya.
Berdasarkan penggolongan tipe-tipe bunuh diri yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa bunuh diri dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu bunuh diri langsung merupakan tindakan secara sadar untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menyakiti diri sendiri dan bunuh diri secara tidak langsung merupakan tindakan bunuh diri yang tidak disadari karena pengaruh dari penyalahgunaan zat atau obat-obatan, ketidakpatuhan terhadap program medis, atau pekerjaan yang membahayakan.

3.      Faktor Penyebab Bunuh Diri
      Menurut A. Supratiknya (Alex Sobur, 2011: 351) pada umumnya kasus bunuh diri dilakukan karena stres yang ditimbulkan oleh berbagai macam faktor penyebab, meliputi:
a.       Depresi
Seseorang yang mengalami stres berkepanjangan cenderung memilih jalan untuk menyelesaikan masalah dengan cara melakukan percobaan bunuh diri.
b.      Krisis dalam hubungan interpersonal
Terjadinya konflik dan pemutusan hubungan, seperti konflik dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilangan orang-orang yang disayangi karena meninggal dapat menimbulkan stres berat yang mendorong seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
c.       Kegagalan
Adanya perasaan gagal dalam diri seseorang, misalnya gagal dalam suatu pekerjaan sehingga menimbulkan rasa kehilangan harga diri yang mendorong tindakan bunuh diri.
d.      Konflik batin
Stres bersumber dari konflik batin atau pertentangan di dalam pikiran seseorang mengenai rasa cemas, bingung, dan keraguan untuk memilih mengakhiri hidup atau mati hingga akhirnya memutuskan untuk memilih melakukan percobaan bunuh diri.
e.       Kehilangan makna dan harapan hidup
            Seseorang yang merasa hidupnya tidak berguna akan memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. 
Menurut Beck & Sterr (Muhammad Adam Hussein, 2012: 55) mayoritas tindakan bunuh diri terjadi karena adanya mood disorder (gangguan suasana hati) yang dialami oleh seseorang. Davidoff (Muhammad Adam Hussein, 2012: 55) menambahkan bahwa adanya pikiran-pikiran tentang mati, termasuk upaya untuk melakukan bunuh diri yang dapat terjadi pada individu dengan gangguan mood. Hal ini diperjelas lagi oleh Hawari (Muhammad Adam Hussein, 2012: 55) yang menjelaskan bahwa depresi (gangguan mood) merupakan faktor penyebab utama seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Fawcett, dkk & Lesage, dkk (Muhammad Adam Hussein, 2012: 55) mengatakan bahwa bunuh diri atau usaha bunuh diri dapat dihubungkan dengan gangguan-gangguan psikologis seperti alkoholik, ketergantungan obat, skizofrenia, panic disorder, dan gangguan kepribadian. Hal ini sejalan dengan pendapat Galih Ekanto Sulistyo Adi (2007: 78) yang mengatakan bahwa sikap bunuh diri pada remaja dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah karakteristik kepribadian. Seperti yang telah dikatakan oleh Breinstein (Galih Ekanto Sulistyo Adi, 2007: 78) yang mengatakan sejumlah teoritisi memberi tekanan pada fungsi kepribadian dalam berhubungan dengan penyesuaian diri individu. Kepribadian mencakup usaha-usaha penyesuaian diri yang bersifat individu, maka biasanya penelitian mengenai kepribadian seringkali berfokus pada konsistensi pola-pola kognisi, emosi, dan perilaku yang membuat seseorang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Costa dan McCrae (Galih Ekanto Sulistyo Adi, 2007: 78) model karakteristik kepribadian yaitu “The Big Five”, yang terdiri dari karakteristik kepribadian neurotism, extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness. Kepribadian dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Menurut Diana Baumrind (John W. Santrock, 2002: 257-258) yang mengatakan bahwa terdapat tiga macam pola asuh orang tua, meliputi pola asuh authoritarian parenting atau otoriter yaitu pola asuh yang membatasi dan menghukum, serta menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha, authoritative parenting atau otoritatif adalah pola asuh orang tua yang mendorong anak untuk mandiri namun masih memberikan batasan dan pengendalian atas tindakan yang dilakukan, dan laissez faire atau permisif. Maccoby & Martin (John W. Santrock, 2002: 258) mengatakan bahwa pola asuh permisif terjadi dalam dua bentuk meliputi, permissive indifferent yaitu pola pengasuhan orang tua yang tidak terlibat dalam kehidupan anak, pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak khususnya kurangnya kendali diri, sedangkan permissive indulgent merupakan pola asuh orang tua yang sangat terlibat dalam kehidupan anak dan menetapkan sedikit batasan atau kendali terhadap anak, pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak khususnya kurangnya kendali diri.
Dubrstein & Conwell (Muhammad Adam Hussein, 2012 : 56) mengatakan bahwa 90% seseorang yang melakukan bunuh diri didiagnosa mengalami gangguan psikologis yang paling utama yaitu depresi, skizofrenia, dan ketergantungan serta penyalahgunaan alkohol. Menurut Richard P. Halgin & Susan Krauss Whitbourne (2011: 31) faktor yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri adalah kurangnya dukungan keluarga, pengasingan dari masyarakat, pernikahan dini, kehamilan yang tidak diinginkan, dan ekonomi yang tidak mencukupi. Lain halnya dengan pendapat Ichlas Nanang Afandi (2007: 1) latar belakang kehidupan orang yang melakukan bunuh diri meliputi kondisi keluarga yang kacau ditandai dengan pertengkaran kedua orang tua, hubungan dengan ibu yang kurang baik dan selalu diwarnai pertengkaran, serta hubungan dengan pacar yang selalu penuh masalah.
4.      Perilaku Prapercobaan Bunuh Diri
Menurut William Zung (Banun Sri Haksasi, 2010: 59) terdapat beberapa perubahan tingkah laku di kalangan remaja yang perlu diwaspadai menunjukkan gejala percobaan bunuh diri meliputi: terjadi perubahan mengenai prestasi belajar, perubahan tingkah laku sosial, mengkonsumsi minuman keras secara berlebihan, perubahan tingkah laku, merasakan kejenuhan, nafsu makan berkurang, tidak mampu berkonsentrasi, terdapat tanda-tanda yang tidak jelas mengenai gangguan mental, menghambur-hamburkan uang, tidak dapat berkomunikasi dengan anggota keluarga dan teman, membolos, pemurung, mengalami gangguan tidur (insomnia), kurangnya hubungan baik antara anak terhadap orang tua, hamil di luar nikah, merokok secara berlebihan, dan meracuni diri sendiri.
Menurut Denneby, et al (Nevid J. S, et al, 2005: 267) orang yang bunuh diri cenderung menunjukkan niatnya dengan cara menceritakan pada orang lain mengenai pikiran-pikiran bunuh diri, namun beberapa orang berusaha untuk menyembunyikan niatnya. Pendekatan ini sejalan dengan A. Supratiknya (1995: 105) bahwa orang yang akan melakukan percobaan bunuh diri pada umumnya mengkomunikasikan niatnya kepada orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Pesan bunuh diri biasanya ditujukan kepada keluarga, dan biasanya pesan dikirim via pos atau ditinggalkan di suatu tempat tidak jauh dari tempat bunuh diri.
Menurut Farberoow & Simon (Yustinus Semiun, 2006: 438) orang-orang yang akan melakukan bunuh diri secara terus terang membicarakan keinginan dan topik mengenai bunuh diri. Seperti yang telah dikemukakan Thomas S. Greenspon & Elaine Hightower (2005: 93) bahwa terdapat tanda-tanda seseorang yang hendak melakukan percobaan bunuh diri, meliputi: seseorang mengancam akan melakukan tindakan bunuh diri, cenderung fokus terhadap tema kematian seperti pada gambar, cerita, puisi dan permainan, menunjukkan perubahan yang sangat dramatis dalam hal kepribadian atau penampilan, dikuasai oleh perasaan bersalah, malu, membuang barang-barang miliknya, memiliki senjata tajam, dan mengalami keceriaan atau kegelisahan tanpa penyebab. Edwin Shneidman (Nevid J. S, et al, 2005: 267) mengatakan bahwa orang yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri secara tiba-tiba mencoba memilah-milah urusan yang dihadapi, seperti membuat surat warisan atau membeli tanah di pemakaman.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa perilaku prapercobaan bunuh diri ditandai dengan membicarakan keinginan untuk bunuh diri, membuat pesan terakhir, insomnia (gangguan tidur), tidak dapat berkonsentrasi, perubahan tingkah laku sosial.
5.      Perilaku Pascapercobaan Bunuh Diri
Menurut William (Banun Sri Haksasi, 2010: 59-60) terdapat beberapa perubahan tingkah laku di kalangan remaja yang menunjukkan perilaku pascapercobaan bunuh diri, yaitu ditandai dengan perubahan dramatis dalam mutu prestasi di sekolah, perubahan dalam tingkah laku sosial, penggunaan obat keras atau alkohol secara berlebihan, perubahan dalam tingkah laku sehari-hari dan pola hidup, kesalahan yang sangat berat, kebosanan dan nafsu makan yang menurun, tidak mampu berkonsentrasi, tanda-tanda yang tidak jelas mengenai gangguan mental, membuang harta benda, tidak dapat berkomunikasi dengan anggota keluarga dan teman di sekolah, membolos, isolasi atau sikap yang murung, insomnia (gangguan tidur), kurangnya hubungan baik antara anak dan orang tua, kehamilan di luar nikah, merokok berlebihan, memiliki sejarah penganiayaan anak dalam keluarga, meracuni diri sendiri.
Menurut Kartini Kartono (2000: 147-148) beberapa ciri karakteristik dari orang-orang yang cenderung melakukan dan sudah melakukan percobaan bunuh diri, meliputi:
a.   Ada ambivalensi yang sadar atau tidak sadar antara keinginan untuk mati dan untuk hidup.
b.  Mengalami keputusasaan, tidak berdaya, tidak berguna, dan merasa tidak mampu mengatasi segala kesulitan dalam hidupnya.
c.   Merasa berada pada batas kemampuan, merasa telah mencapai pada puncaknya baik secara fisik dan secara mental.
d.  Selalu dihantui atau dikejar-kejar oleh rasa cemas, takut, tegang, depresi, marah, dendam, dosa atau bersalah.
e.  Ada kekacauan dalam kepribadiannya, mengalami kondisi disorganisasi dan disintegrasi personal, tidak mampu memperbaiki maupun keluar dari jalan buntu.
f.  Terombang-ambing dalam berbagai macam suasana hati yang kontroversal, agitasi lawan apati, ingin lari lawan berdiam diri, memiliki potensialitas kontra kelemahan dan ketidakberanian.
g.  Terdapat pengerutan kognitif, ada ketidakmampuan melihat dengan wawasan yang cerah, tidak mampu melihat alternatif lain, bahkan meyakini limitasi dan kelemahan dari potensialitas sendiri.
h.  Hilangya gairah hidup, hilang minat terhadap aktivitas sehari-hari, hilangnya gairah seks, tidak memiliki minat terhadap masyarakat sekitarnya.
i.   Banyak penderitaan jasmaniah, mengalami insomnia (gangguan tidur), nafsu makan berkurang, dan simtom-simtom psikosomatis lainnya.
j.     Penderita pernah sekali atau beberapa kali mencoba melakukan upaya percobaan bunuh diri.
Dari pendapat di atas dapat peneliti simpulkan bahwa terdapat beberapa perubahan perilaku seseorang pascapercobaan bunuh diri yaitu mengalami gangguan tidur, lebih suka menyendiri dibandingkan berkumpul, menjadi lebih pendiam dari biasanya, mengalami stres berat, putus asa, dan nafsu makan berkurang.
6.      Upaya Pencegahan Bunuh Diri
Menurut Kartini Kartono (2000: 163-165) untuk mengurangi kasus bunuh diri, mencegah, dan menyembuhkan para penderita yang telah gagal melakukan bunuh diri, disarankan agar pemerintah dan masyarakat dapat melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Mendirikan Pusat Studi tentang Pencegahan Bunuh Diri, di bawah naungan satu Lembaga Nasional Hygiene yang disebut suicidology, studi humani dan ilmiah mengenai destruksi diri pada seseorang yang memberikan training khusus untuk menangani masalah bunuh diri.
b. Pemerintah dan masyarakat hendaknya memberikan lebih banyak jaminan keamanan dan jasmani sosial kepada anak-anak dan semua warganegara, agar mereka selalu terlindung dan sehat mentalnya, sehingga bisa bebas mengaktualisasikan diri secara aktif, untuk menegakkan martabat dirinya.
c. Secepat mungkin melakukan pemulihan pola kelembagaan formal yang cukup berwibawa, dan sesuai dengan tuntutan hidup modern. “Wibawa” dalam pengertian bisa menegakkan standar, moralitas, disiplin, nasional, norma-norma, dan nilai-nilai hidup baik atau benar, yang dipatuhi orang banyak, dan mampu mengontrol serta mengatur perilaku warga masyarakat dalam tata hidup yang higienis secara mental maupun sosial.
d. Dianjurkan agar organisasi-organisasi kemasyarakatan lebih banyak memberikan penekanan pada pembentukan kontak-kontak sosial yang lebih akrab, kegotongroyongan yang lebih bermakna, dan penyusunan interes kelompok baru yang sesuai dengan tuntutan zaman, untuk menggantikan kontak lama dan kelompok interes yang telah mengalami erosi berat.
e.    Memberikan bimbingan psikologis kepada anak-anak, remaja, orang dewasa, dan lanjut usia untuk memupuk integritas psikologis atau kejiwaan supaya bisa menjaga harga diri, hidup religius, kesadaran tanggung jawab susila, ego yang fleksibel, adaptabilitas tinggi, dan konsep diri yang sehat, serta mampu menghadapi setiap tantangan hidup.
f.    Memberikan psikiatris dan bimbingan psikologis kepada orang-orang yang mempunyai kecenderungan untuk melakukan bunuh diri dengan jalan memperkuat integrasi kejiwaan dan memperlancar fungsi ego untuk mengikuti jalan hidup yang sehat.
Menurut Imam Shalahuddin Al-Jalili (Muhammad Adam Hussein, 2012: 74-83) upaya pencegahan bunuh diri dapat dilakukan melalui:
a.  Diri sendiri dengan menanamkan semangat hidup dalam dirinya, menghindari pemikiran negatif, menyikapi permasalahan dengan jiwa yang tenang, dan mendekatkan diri dengan Allah SWT.
b.    Pihak keluarga dengan mengenali terlebih dahulu tanda-tanda percobaan bunuh diri, membina hubungan yang erat dan harmonis.
c.  Masyarakat atau lembaga rehabilitas harus tanggap dalam memberi bantuan dan mengobati secara signifikan.
d.    Media massa memberikan pemahaman bahwa bunuh diri bukan suatu jalan keluar yang baik, dan menekankan bahwa bunuh diri merupakan tindakan yang sangat merugikan dan sangat menyakiti diri sendiri.
e.  Pencegahan bunuh diri yang dilakukan oleh sektor kesehatan melalui pemberian penyuluhan secara menyeluruh dan meluas dalam lingkungan masyarakat, penyuluhan tersebut kerjasama dengan pemerintah terkait untuk menindaklanjuti tindakan bunuh diri.
f.   Guru memberikan bantuan untuk menemukan jati diri dan memberikan pengarahan dalam membangun konsep diri yang positif.
Dari beberapa pendapat di atas mengenai pencegahan percobaan bunuh diri, maka dapat peneliti simpulkan bahwa bunuh diri dapat dicegah melalui diri sendiri maupun dari pihak lain. Dari diri sendiri dengan cara menumbuhkan semangat untuk menjalani kehidupan, selalu berpikir positif, menghadapi permasalahan dengan hati yang tenang. Sedangkan pencegahan dari pihak lain melalui keluarga, guru, masyarakat, dan media massa. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan cara selalu memberikan dukungan, kasih sayang, pengarahan dan bimbingan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar