1.
Pengertian
Bunuh Diri
Bunuh diri merupakan tindakan merusak diri sendiri
yang berakibat pada kematian. Menurut Clinard (Rahesli Humsona, 2004: 60)
menyebutkan, ”generally , suicide refers
to the destruction of one’ s self, self killing, or, in a legalistic sense,
self murder.” Jadi, bunuh diri merupakan tindakan menghilangkan nyawa oleh
diri sendiri. Pendapat Clinard ini menekankan bahwa bunuh diri merupakan cara seseorang
untuk menghancurkan diri sendiri.
Istilah bunuh diri memiliki beberapa pengertian, menurut
Darmaningtyas (Rahesli Humsona, 2004: 60-61) meliputi: a. bunuh diri merupakan
tindakan merusak diri sendiri dengan menggunakan zat (racun atau obat) yang
mengakibatkan kematian (commited suicide)
maupun menggunakan zat yang tidak mengakibatkan kematian (attemped suicide), b. tindakan bunuh
diri merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dengan melakukan percobaan
bunuh diri dan bunuh diri, c. pikiran bunuh diri adalah munculnya pikiran untuk
melakukan tindakan bunuh diri hingga
melakukan percobaan bunuh diri maupun bunuh diri atau sebatas hanya pada
pikiran saja. Pendapat Darmaningtyas ini menekankan bahwa bunuh diri merupakan munculnya
niat seseorang untuk merusak diri sendiri dengan menggunakan zat yang mematikan
maupun yang tidak mematikan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa bunuh diri merupakan niat dan tindakan secara sadar
untuk mengakhiri hidup dengan cara menyakiti diri sendiri dan menghilangkan
nyawa karena adanya keputusasaan, ingin lari dari kehidupan nyata, dan banyaknya
masalah yang dihadapi.
2.
Tipe-Tipe
Bunuh Diri
Shneidman
(Riana Purwatmi, 2012: 27-28) mengatakan bahwa bunuh diri dibagi menjadi 2
golongan yaitu:
a. Bunuh
diri langsung yaitu tindakan yang didasari dan sengaja untuk mengakhiri hidup
seperti: pengorbanan diri (membakar diri), menggantung diri, menembak diri
sendiri, melompat dari tempat yang tinggi, menenggelamkan diri atau sufokasi.
b. Bunuh
diri tidak langsung yaitu keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati
yang ditandai dengan perilaku kronis berisiko seperti penyalahgunaan zat, makan
berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program medis, olahraga
atau pekerjaan yang membahayakan.
Menurut
Durkheim (Alex Sobur, 2011: 352-354) ada tiga tipe bunuh diri yaitu:
a. Bunuh
diri egoistis (egoistic suicide) merupakan
sikap seseorang yang hendak berintegrasi dengan kelompoknya, keluarganya, dan
sebagainya.
b. Bunuh
diri altrustis (altruistic suicide) merupakan
tindakan bunuh diri yang dilakukan karena adanya pengintegrasian seseorang
terhadap groupnya atau kelompoknya demi menyelamatkan nyawa kelompoknya.
c. Bunuh
diri anomis (anomic suicide) merupakan
keadaan moral, ketika seseorang kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam
hidupnya.
Berdasarkan penggolongan tipe-tipe bunuh diri yang
telah dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa
bunuh diri dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu bunuh diri langsung merupakan
tindakan secara sadar untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menyakiti diri sendiri
dan bunuh diri secara tidak langsung merupakan tindakan bunuh diri yang tidak
disadari karena pengaruh dari penyalahgunaan zat atau obat-obatan,
ketidakpatuhan terhadap program medis, atau pekerjaan yang membahayakan.
3.
Faktor
Penyebab Bunuh Diri
Menurut A. Supratiknya (Alex Sobur, 2011: 351) pada
umumnya kasus bunuh diri dilakukan karena stres yang ditimbulkan oleh berbagai
macam faktor penyebab, meliputi:
a. Depresi
Seseorang yang mengalami stres berkepanjangan
cenderung memilih jalan untuk menyelesaikan masalah dengan cara melakukan
percobaan bunuh diri.
b. Krisis
dalam hubungan interpersonal
Terjadinya konflik dan pemutusan hubungan, seperti
konflik dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilangan orang-orang yang
disayangi karena meninggal dapat menimbulkan stres berat yang mendorong
seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
c. Kegagalan
Adanya perasaan gagal dalam diri seseorang, misalnya
gagal dalam suatu pekerjaan sehingga menimbulkan rasa kehilangan harga diri
yang mendorong tindakan bunuh diri.
d. Konflik
batin
Stres bersumber dari konflik batin atau pertentangan
di dalam pikiran seseorang mengenai rasa cemas, bingung, dan keraguan untuk
memilih mengakhiri hidup atau mati hingga akhirnya memutuskan untuk memilih
melakukan percobaan bunuh diri.
e. Kehilangan
makna dan harapan hidup
Seseorang
yang merasa hidupnya tidak berguna akan memilih mengakhiri hidupnya dengan
bunuh diri.
Menurut Beck & Sterr (Muhammad Adam Hussein,
2012: 55) mayoritas tindakan bunuh diri terjadi karena adanya mood disorder (gangguan suasana hati)
yang dialami oleh seseorang. Davidoff (Muhammad Adam Hussein, 2012: 55)
menambahkan bahwa adanya pikiran-pikiran tentang mati, termasuk upaya untuk
melakukan bunuh diri yang dapat terjadi pada individu dengan gangguan mood. Hal ini diperjelas lagi oleh
Hawari (Muhammad Adam Hussein, 2012: 55) yang menjelaskan bahwa depresi
(gangguan mood) merupakan faktor
penyebab utama seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Fawcett, dkk & Lesage, dkk (Muhammad Adam
Hussein, 2012: 55) mengatakan bahwa bunuh diri atau usaha bunuh diri dapat
dihubungkan dengan gangguan-gangguan psikologis seperti alkoholik,
ketergantungan obat, skizofrenia, panic disorder, dan gangguan kepribadian.
Hal ini sejalan dengan pendapat
Galih Ekanto Sulistyo Adi (2007: 78) yang mengatakan bahwa sikap bunuh diri
pada remaja dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah
karakteristik kepribadian. Seperti yang telah dikatakan oleh Breinstein (Galih
Ekanto Sulistyo Adi, 2007: 78) yang mengatakan sejumlah teoritisi memberi
tekanan pada fungsi kepribadian dalam berhubungan dengan penyesuaian diri
individu. Kepribadian mencakup usaha-usaha penyesuaian diri yang bersifat
individu, maka biasanya penelitian mengenai kepribadian seringkali berfokus
pada konsistensi pola-pola kognisi, emosi, dan perilaku yang membuat seseorang
berbeda satu dengan yang lain. Menurut Costa dan McCrae (Galih Ekanto Sulistyo
Adi, 2007: 78) model karakteristik kepribadian yaitu “The Big Five”, yang
terdiri dari karakteristik kepribadian neurotism,
extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness. Kepribadian dipengaruhi oleh pola asuh orang
tua. Menurut Diana Baumrind (John W. Santrock, 2002: 257-258) yang mengatakan
bahwa terdapat tiga macam pola asuh orang tua, meliputi pola asuh authoritarian parenting atau otoriter
yaitu pola asuh yang membatasi dan menghukum, serta menuntut anak untuk
mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha, authoritative parenting atau otoritatif
adalah pola asuh orang tua yang mendorong anak untuk mandiri namun masih
memberikan batasan dan pengendalian atas tindakan yang dilakukan, dan laissez faire atau permisif. Maccoby & Martin (John W. Santrock, 2002: 258)
mengatakan bahwa pola asuh permisif terjadi dalam dua bentuk meliputi, permissive indifferent yaitu pola
pengasuhan orang tua yang tidak terlibat dalam kehidupan anak, pengasuhan ini
diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak khususnya kurangnya kendali diri,
sedangkan permissive indulgent merupakan
pola asuh orang tua yang sangat terlibat dalam kehidupan anak dan menetapkan
sedikit batasan atau kendali terhadap anak, pengasuhan ini diasosiasikan dengan
inkompetensi sosial anak khususnya kurangnya kendali diri.
Dubrstein & Conwell (Muhammad Adam Hussein, 2012
: 56) mengatakan bahwa 90% seseorang yang melakukan bunuh diri didiagnosa
mengalami gangguan psikologis yang paling utama yaitu depresi, skizofrenia, dan ketergantungan serta
penyalahgunaan alkohol. Menurut Richard P. Halgin & Susan Krauss Whitbourne
(2011: 31) faktor yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri adalah
kurangnya dukungan keluarga, pengasingan dari masyarakat, pernikahan dini,
kehamilan yang tidak diinginkan, dan ekonomi yang tidak mencukupi. Lain halnya
dengan pendapat Ichlas Nanang Afandi (2007: 1) latar belakang kehidupan orang
yang melakukan bunuh diri meliputi kondisi keluarga yang kacau ditandai dengan
pertengkaran kedua orang tua, hubungan dengan ibu yang kurang baik dan selalu
diwarnai pertengkaran, serta hubungan dengan pacar yang selalu penuh masalah.
4. Perilaku
Prapercobaan Bunuh Diri
Menurut William Zung (Banun Sri Haksasi, 2010: 59)
terdapat beberapa perubahan tingkah laku di kalangan remaja yang perlu
diwaspadai menunjukkan gejala percobaan bunuh diri meliputi: terjadi perubahan
mengenai prestasi belajar, perubahan tingkah laku sosial, mengkonsumsi minuman
keras secara berlebihan, perubahan tingkah laku, merasakan kejenuhan, nafsu
makan berkurang, tidak mampu berkonsentrasi, terdapat tanda-tanda yang tidak
jelas mengenai gangguan mental, menghambur-hamburkan uang, tidak dapat
berkomunikasi dengan anggota keluarga dan teman, membolos, pemurung, mengalami
gangguan tidur (insomnia), kurangnya
hubungan baik antara anak terhadap orang tua, hamil di luar nikah, merokok
secara berlebihan, dan meracuni diri sendiri.
Menurut Denneby, et al (Nevid J. S, et al, 2005:
267) orang yang bunuh diri cenderung menunjukkan niatnya dengan cara
menceritakan pada orang lain mengenai pikiran-pikiran bunuh diri, namun
beberapa orang berusaha untuk menyembunyikan niatnya. Pendekatan ini sejalan dengan
A. Supratiknya (1995: 105) bahwa orang yang akan melakukan percobaan bunuh diri
pada umumnya mengkomunikasikan niatnya kepada orang lain baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pesan bunuh diri biasanya ditujukan kepada keluarga, dan
biasanya pesan dikirim via pos atau ditinggalkan di suatu tempat tidak jauh
dari tempat bunuh diri.
Menurut Farberoow & Simon (Yustinus Semiun,
2006: 438) orang-orang yang akan melakukan bunuh diri secara terus terang
membicarakan keinginan dan topik mengenai bunuh diri. Seperti yang telah
dikemukakan Thomas S. Greenspon & Elaine Hightower (2005: 93) bahwa
terdapat tanda-tanda seseorang yang hendak melakukan percobaan bunuh diri,
meliputi: seseorang mengancam akan melakukan tindakan bunuh diri, cenderung
fokus terhadap tema kematian seperti pada gambar, cerita, puisi dan permainan,
menunjukkan perubahan yang sangat dramatis dalam hal kepribadian atau
penampilan, dikuasai oleh perasaan bersalah, malu, membuang barang-barang
miliknya, memiliki senjata tajam, dan mengalami keceriaan atau kegelisahan tanpa
penyebab. Edwin Shneidman (Nevid J. S, et al, 2005: 267) mengatakan bahwa orang
yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri secara tiba-tiba mencoba memilah-milah
urusan yang dihadapi, seperti membuat surat warisan atau membeli tanah di
pemakaman.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat peneliti
simpulkan bahwa perilaku prapercobaan bunuh diri ditandai dengan membicarakan
keinginan untuk bunuh diri, membuat pesan terakhir, insomnia (gangguan tidur),
tidak dapat berkonsentrasi, perubahan tingkah laku sosial.
5.
Perilaku
Pascapercobaan Bunuh Diri
Menurut William (Banun Sri Haksasi,
2010: 59-60) terdapat beberapa perubahan tingkah laku di kalangan remaja yang
menunjukkan perilaku pascapercobaan bunuh diri, yaitu ditandai dengan perubahan
dramatis dalam mutu prestasi di sekolah, perubahan dalam tingkah laku sosial,
penggunaan obat keras atau alkohol secara berlebihan, perubahan dalam tingkah
laku sehari-hari dan pola hidup, kesalahan yang sangat berat, kebosanan dan
nafsu makan yang menurun, tidak mampu berkonsentrasi, tanda-tanda yang tidak
jelas mengenai gangguan mental, membuang harta benda, tidak dapat berkomunikasi
dengan anggota keluarga dan teman di sekolah, membolos, isolasi atau sikap yang
murung, insomnia (gangguan tidur), kurangnya hubungan baik antara anak dan
orang tua, kehamilan di luar nikah, merokok berlebihan, memiliki sejarah
penganiayaan anak dalam keluarga, meracuni diri sendiri.
Menurut Kartini Kartono (2000: 147-148) beberapa ciri
karakteristik dari orang-orang yang cenderung melakukan dan sudah melakukan
percobaan bunuh diri, meliputi:
a. Ada
ambivalensi yang sadar atau tidak sadar antara keinginan untuk mati dan untuk
hidup.
b. Mengalami
keputusasaan, tidak berdaya, tidak berguna, dan merasa tidak mampu mengatasi
segala kesulitan dalam hidupnya.
c. Merasa
berada pada batas kemampuan, merasa telah mencapai pada puncaknya baik secara
fisik dan secara mental.
d. Selalu
dihantui atau dikejar-kejar oleh rasa cemas, takut, tegang, depresi, marah,
dendam, dosa atau bersalah.
e. Ada
kekacauan dalam kepribadiannya, mengalami kondisi disorganisasi dan
disintegrasi personal, tidak mampu memperbaiki maupun keluar dari jalan buntu.
f. Terombang-ambing
dalam berbagai macam suasana hati yang kontroversal, agitasi lawan apati, ingin
lari lawan berdiam diri, memiliki potensialitas kontra kelemahan dan
ketidakberanian.
g. Terdapat
pengerutan kognitif, ada ketidakmampuan melihat dengan wawasan yang cerah,
tidak mampu melihat alternatif lain, bahkan meyakini limitasi dan kelemahan
dari potensialitas sendiri.
h. Hilangya
gairah hidup, hilang minat terhadap aktivitas sehari-hari, hilangnya gairah
seks, tidak memiliki minat terhadap masyarakat sekitarnya.
i. Banyak penderitaan jasmaniah, mengalami insomnia
(gangguan tidur), nafsu makan berkurang, dan simtom-simtom psikosomatis
lainnya.
j. Penderita pernah sekali atau beberapa
kali mencoba melakukan upaya percobaan bunuh diri.
Dari pendapat di atas dapat peneliti simpulkan bahwa
terdapat beberapa perubahan perilaku seseorang pascapercobaan bunuh diri yaitu
mengalami gangguan tidur, lebih suka menyendiri dibandingkan berkumpul, menjadi
lebih pendiam dari biasanya, mengalami stres berat, putus asa, dan nafsu makan
berkurang.
6.
Upaya
Pencegahan Bunuh Diri
Menurut Kartini Kartono (2000: 163-165) untuk
mengurangi kasus bunuh diri, mencegah, dan menyembuhkan para penderita yang
telah gagal melakukan bunuh diri, disarankan agar pemerintah dan masyarakat
dapat melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Mendirikan
Pusat Studi tentang Pencegahan Bunuh Diri, di bawah naungan satu Lembaga Nasional Hygiene yang disebut suicidology, studi humani dan ilmiah mengenai
destruksi diri pada seseorang yang memberikan training khusus untuk menangani
masalah bunuh diri.
b. Pemerintah
dan masyarakat hendaknya memberikan lebih banyak jaminan keamanan dan jasmani
sosial kepada anak-anak dan semua warganegara, agar mereka selalu terlindung
dan sehat mentalnya, sehingga bisa bebas mengaktualisasikan diri secara aktif,
untuk menegakkan martabat dirinya.
c. Secepat
mungkin melakukan pemulihan pola kelembagaan formal yang cukup berwibawa, dan
sesuai dengan tuntutan hidup modern. “Wibawa” dalam pengertian bisa menegakkan
standar, moralitas, disiplin, nasional, norma-norma, dan nilai-nilai hidup baik
atau benar, yang dipatuhi orang banyak, dan mampu mengontrol serta mengatur
perilaku warga masyarakat dalam tata hidup yang higienis secara mental maupun sosial.
d. Dianjurkan
agar organisasi-organisasi kemasyarakatan lebih banyak memberikan penekanan
pada pembentukan kontak-kontak sosial yang lebih akrab, kegotongroyongan yang
lebih bermakna, dan penyusunan interes kelompok baru yang sesuai dengan
tuntutan zaman, untuk menggantikan kontak lama dan kelompok interes yang telah mengalami
erosi berat.
e. Memberikan
bimbingan psikologis kepada anak-anak, remaja, orang dewasa, dan lanjut usia
untuk memupuk integritas psikologis atau kejiwaan supaya bisa menjaga harga
diri, hidup religius, kesadaran tanggung jawab susila, ego yang fleksibel,
adaptabilitas tinggi, dan konsep diri yang sehat, serta mampu menghadapi setiap
tantangan hidup.
f. Memberikan
psikiatris dan bimbingan psikologis kepada orang-orang yang mempunyai
kecenderungan untuk melakukan bunuh diri dengan jalan memperkuat integrasi
kejiwaan dan memperlancar fungsi ego untuk mengikuti jalan hidup yang sehat.
Menurut Imam Shalahuddin Al-Jalili (Muhammad Adam
Hussein, 2012: 74-83) upaya pencegahan bunuh diri dapat dilakukan melalui:
a. Diri
sendiri dengan menanamkan semangat hidup dalam dirinya, menghindari pemikiran
negatif, menyikapi permasalahan dengan jiwa yang tenang, dan mendekatkan diri
dengan Allah SWT.
b. Pihak
keluarga dengan mengenali terlebih dahulu tanda-tanda percobaan bunuh diri,
membina hubungan yang erat dan harmonis.
c. Masyarakat
atau lembaga rehabilitas harus tanggap dalam memberi bantuan dan mengobati
secara signifikan.
d. Media
massa memberikan pemahaman bahwa bunuh diri bukan suatu jalan keluar yang baik,
dan menekankan bahwa bunuh diri merupakan tindakan yang sangat merugikan dan
sangat menyakiti diri sendiri.
e. Pencegahan
bunuh diri yang dilakukan oleh sektor kesehatan melalui pemberian penyuluhan
secara menyeluruh dan meluas dalam lingkungan masyarakat, penyuluhan tersebut
kerjasama dengan pemerintah terkait untuk menindaklanjuti tindakan bunuh diri.
f. Guru
memberikan bantuan untuk menemukan jati diri dan memberikan pengarahan dalam
membangun konsep diri yang positif.
Dari beberapa pendapat di atas mengenai pencegahan
percobaan bunuh diri, maka dapat peneliti simpulkan bahwa bunuh diri dapat
dicegah melalui diri sendiri maupun dari pihak lain. Dari diri sendiri dengan
cara menumbuhkan semangat untuk menjalani kehidupan, selalu berpikir positif,
menghadapi permasalahan dengan hati yang tenang. Sedangkan pencegahan dari
pihak lain melalui keluarga, guru, masyarakat, dan media massa. Pencegahan
tersebut dapat dilakukan dengan cara selalu memberikan dukungan, kasih sayang,
pengarahan dan bimbingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar